Marawa
bewarna hitam, kuning, merah itu baru saja dipasang di pagar halaman rumahku.
Aku kemudian memeluk Mira, adikku yang masih SMA untuk mencoba berbagi
kebahagiaan baersamanya.
“Ciye
yang bakal jadi ratu sehari,” goda Mira.
Aku
tersenyum, terlalu bahagia. “Biasa aja kali, Mir. Nanti kamu juga nyobain kok,”
ujarku padanya.
“Iya
kak,” sahut Mira.
Aku
dan Mira pun masuk ke dalam rumah. Besok aku akan mengakhiri masa lajangku
diusia 25 tahun. Aku dipinang oleh seorang pemuda yang aku cintai dan aku kenal
dari proses taaruf yang panjang.
Nama
pemuda itu adalah Aditya Putra, yang sering disapa Adit. Dia pemuda berumur 27
tahun dan bekerja disalah satu sekolah sebagai guru Fisika. Sedangkan aku
bernama Elfia Rahma dan biasa dipanggil Elfi. Aku bekerja sebagai salah satu
dokter di Rumah Sakit Umum di daerahku.
“Kak,”
panggil Mira.
“Ya,
Mira?” tanyaku.
“Nanti
malam kan proses malam bainai-nya.
Aku boleh memakai inai juga nggak?” tanya Mira.
“Wah
tentu boleh. Biar kamu tambah cantik juga,” jawabku.
“Oh
ya, hari ini kita bakal fitting baju pengantin. Kakak ingat kan?” tanya Mira
lagi.
“Masih
donk. Jam berapa?”
“Jam
3. Berarti sebentar lagi, kalau begitu ayo kita siap-siap,” jelas Mira sambil
melenggang menuju kamarnya yang telah sukses ku buat acak-acakan dengan
peralatan rumah tangga yang mengungsi di sana.
Aku
menatap Mira yang telah menghilang di balik pintu kamar. Dia begitu baik dengan
membantuku menyiapkan segala keperluan pernikahanku. Dia bela-belain bertanya
dan memohon diskon pada Mama Firza, pemilik butik tempat kami memesan baju. Ia
juga rela meninggalkan kegiatan OSIS-nya demi menemaniku memilih makanan
catering.
“El...
Jangan bengong. Kan kamu mau nikah,” seseorang yang ternyata adalah Kak Fia
mengejutkanku dari belakang.
Namanya
Fiana Maharani. Kakak perempuanku yang umurnya terpaut 3 tahun di atasku. Dia
sudah menikah dan telah memiliki seorang putra kecil yang berusia 3 bulan.
“Eh,
nggak kok kak...” kataku. “Kakak mau kemana?” tanyaku lagi.
“Mau
ke rumah teman, ada perlu. Kamu mau kemana?” tanya Kak Fia.
“Mau
fitting baju pengantin, Kak...”
“Oh
ya. Lalu Mira mana?”
“Lagi
di kamar, Kak. Ganti baju,” jawabku sambil mencium pipi Rizal, anak Kak Fia.
“Ya
sudah... Hati-hati bawa Mira, ya. Jangan sampai kenapa-napa, dia pasti juga mau
nikah beberapa tahun lagi,” gurau Kak Fia sebelum pergi.
“Hahaha....
Iya Kak. Pasti,” jawabku.
Tak
lama setelah Kak Fia pergi, Mira datang dengan memakai gaun putih selutut yang
cantik. Rambut hitam sepinggangnya dibiarkan tergerai dan ia memakai wedges
pink yang menawan.
“Yuk,
Kak...” ajak Mira sembari meraih kunci mobil di tas kecilnya. Aku mengangguk
dan berjalan beriringan dengannya.
“Kali
ini biar aku yang nyetir. Kakak santai-santai aja, kan bakal jadi ratu,” goda
Mira lagi. Aku tersenyum padanya.
“Ah,
kamu bisa aja Mira. Ntar kalau kamu nikah kakak ledekin baru tahu rasa, lho!”
ancamku.
Mira
tertawa hinga memperlihatkan gigi putihnya. Kemudian kami pun melaju menuju
butik Mama Firza.
***
Hari
yang ditunggu telah datang. Aku berdandan layaknya putri yang cantik. Tapi Mira
juga tak mau kalah. Ia juga telah berdandan secantik mungkin agar juga bisa
menjadi ratu sehari ini, paling tidak dihadapan Rahmat, pacarnya nanti. Pukul
10.00 WIB satu per satu tamu pun datang. Catering pun telah siap dengan segala
makanan andalannya.
Adit
juga telah tampan dengan baju pengantin yang warnanya serasi dengan gaun yang
kupakai. Ah, aku makin mencintainya saja...
“El,
lihat handphone-ku nggak?” tanya Adit padaku.
Aku
menggeleng. “Sejak tadi malam aku nggak lihat kamu megang HP tuh,” jawabku
jujur.
“Aduh..
Kayaknya masih ketinggalan di rumah ku deh. Agh padahal semua keluarga sudah di
sini. Gimana cara ngambilnya ya?” ujarnya.
“Ya
sudah. Aku minta tolong Mira saja untuk menjemputnya. Nggak ada orang di rumah
ya?” tanyaku pada Adit.
Lelaki
itu menggeleng. “Ya nggak apa-apa sih... Ini kunci rumahku,” jawab Adit sambil
menyodorkan sebuah kunci. Aku pun melangkah keluar kamar rias.
5
menit kemudian Mira keluar rumah dengan mengendarai mobil menuju rumah Adit
yang tak terlalu jauh.
Pukul
10.20 WIB
Sudah
15 menit berlalu. Tapi Mira belum juga kembali. Aku jadi khawatir dan tidak
tenang. Rahmat juga telah datang ke rumahku dan menunggu dengan cemas. Tak lama
setelah itu HP ku berbunyi tanda panggilan masuk. Dari Uda Haris, salah seorang
tetanggaku.
“Assalamualaikum...
Ada apa, Uda?” tanyaku.
“Waalaikumsalam...”
napasnya di ujung sana nampak memburu.”El, kamu harus ke sini, di depan Musalla
Darul Mukmin. Adikmu kecelakaan, dia meninggal,” kata Uda Haris.
Aku
kaget bukan main. HP jatuh dari genggamanku dan aku pun terduduk di pelaminan. Semua
keluarga yang ada di sana menunggu kata-kataku yang hilang dan berganti dengan
air mata.
“Mira
kecelakaan, dia meninggal...” kataku sambil berlinang air mata. Mama dan Adit
serta seluruh keluarga termasuk Rahmat terpana. Kaget.
Orgen
dihentikan dan marawa yang menjadi simbol kebahagiaan dan perhelatan di Minangkabau
itu harus digantikan dengan kain hitam tanda duka cita. Aku segera menuju ke
TKP. Di sana sudah banyak orang yang berkerumun.
Aku
menangis melihat Mira. Baju yang baru pertama kali dipakainya itu sudah
dipenuhi darah. Wajahnya yang telah cantik harus pilu dipenuhi darah yang
mengalir dari pelipisnya. Rahmat pun menangis, dia sangat mencintai Mira
seperti aku mencintai Mira pula.
Kemungkinan
usai dari rumah Adit, Mira mengendarai mobil terlalu kencang karena ia
mengetahui bahwa Rahmat telah datang. Namun di depan Musalla Darul Mukmin, dia
melihat seorang anak sedang menyeberang. Mira pun segera putar setir dan
menabrak pagar Musalla tersebut.
***
Mira
terbujur kaku di ruang tengah rumahku. Tepat di depan pelaminan yang akan
menjadi saksi bisu resepsi pernikahanku. Para tamu yang harusnya datang dengan
senyum melihatku duduk memakai sunting bersama Adit di pelaminan, akhirnya
harus datang untuk mengucap bela sungkawa.
Pukul
4 sore, usai shalat Ashar jenazah Mira diarak menuju liang lahat. Rahmat ikut
dalam penyelenggaraan jenazah itu. Sebelum dikubur, Rahmat membuka tali pocong
Mira. Melihat sekali lagi gadis cantik yang menjadi pacarnya itu. Wajah Mira
tenang dan damai. Ada semburat senyum diwajah Mira. Itulah yang menguatkan
Rahmat untuk melepas dan mengikhlaskan Mira pergi. Karena segala sesuatu yang
hidup pasti akan merasakan mati dan kita tak pernah tahu kapan ajal akan
menghampiri.
Innalillahi
wainna ilaihi rojiun...
Comments
Post a Comment
Hindari kata Kata Kotor