“Hai,
Luh” sapa Gadis di warung Bu Siti.
“Hai,
Dis. Udah lama nggak kelihatan nih kayaknya, kemana aja?” Tanya Galuh. “Kopinya
satu ya, Bu” lanjutnya pada Bu Siti. Bu Siti mengangguk sambil masuk ke dalam
dapurnya.
“Nggak
kemana-mana tuh. Kamu aja yang terlalu sibuk” jawab Gadis sambil menyeruput
kopi hitamnya.
“Biasanya
anak cewek nggak suka kopi tuh” kata Galuh.
“Trus?”
“Kamu
suka kopi…” jawab Galuh.
“Masalah
buat lo?” Gadis pura-pura sewot sambil menirukan gaya bahasa anak alay zaman
sekarang. Galuh hanya tertawa kecil.
Galuh
dan Gadis adalah dua remaja yang tinggal dalam satu kawasan tempat tinggal,
yakni Kampung Mawar. Kampung Mawar bukanlah komplek tempat berdirinya rumah
mewah dengan garasi yang diisi lebih dari 1 mobil. Tapi, Kampung Mawar hanyalah
sebuah kampung kecil di pinggiran kota yang berisi rumah sederhana namun
bahagia.
Mereka
juga telah berteman sejak kecil. Mereka selalu sama sekolah, namun jarang
sekali mereka sekelas. Dan berhubung Galuh dan Gadis sudah selesai UN SMA dan
libur panjang selama beberapa waktu, jadilah mereka sibuk dengan kegiatan
masing-masing.
“Nih
kopinya” kata Bu Siti.
“Makasih
Bu” jawab Galuh. Bu Siti tersenyum.
“Kalian
berdua sudah gede ya… Perasaan, kalian baru kemarin lahirnya. Sekarang sudah
tamat SMA” kata Bu Siti.
“Masa
kita lahirnya kemarin, Bu?” kata Gadis. “Kita lahirnya 18 tahun silam.”
“Hahaha….
Iya. Waktu memang cepat berputar” komentar Bu Siti.
“Tamat
SMA kamu mau nyambung kemana, Luh?” Tanya Gadis.
Orang
yang ditanya – Galuh—menghentikan kegiatan ngopinya dan menatap Gadis. “Kamu?”
tanyanya balik.
“Jawab
dulu donk. Kan aku yang tanya duluan” kata Gadis.
“Ladies
first” kata Galuh.
“Nggak.
Kamu jawab dulu.”
“Mm…
Aku mau masuk UPN ‘Veteran’ jurusan Perminyakan. Itu kalau bisa sih, soalnya
aku harus lihat keuangan dulu” jawab Galuh akhirnya. “Kalau Gadis kemana?”
“Aku
mau masuk UI fakultas kedokteran.”
“Wah
jadi dokter donk. Bu Dokter, tolong obtain saya donk” ledek Galuh sambil
pura-pura menunjukkan tangannya sakit.
“Nggak
usah lebai kali. Kalau punya uang dan bisa masuk, syukur. Kalau enggak, ya cari
kerja aja langsung” jelas Gadis. Mereka pun melanjutkan obrolannya.
***
Diatas
sebuah gedung tua bekas peninggalan Belanda, Galuh mengalunkan gitarnya lembut.
Sambil melihat kerlipan bintang yang begitu indah. Gedung itu sudah lama ditinggali
dan tentunya tak ada lampu di sana. Yang menerangi hanya matahari saat siang
dan bintang-bulan dikala malam.
“Gadiis,
peganglah tanganku. Dan tatap mataku… Betapa aku mencintaimu. Katakanlah saat
ini gadis, bahwa kau hanya milikku, milikkuuuu…..” Galuh bernyanyi sendiri.
Di
rumah Gadis disaat yang bersamaan.
“Duh,
dasar gitar tua. Belum apa-apa senarnya udah putus, padahal kemarin baru
diganti. Mana lehernya hampir patah lagi” omel Gadis pada gitar ayahnya yang
sudah lama sekali. Gitar itu dibeli ayah sejak beliau berumur 13 tahun, sampai
sekarang beliau sudah berumur 48 tahun. Lama banget kan?
“Kenapa
kak?” Tanya Yusuf, adik Gadis yang masih duduk di kelas 7 SMP.
“Gitarnya
rusak lagi, Suf. Suara hancur, senarnya putus lagi, lehernya udah kayak ayam
dibantai” kata Gadis pada adiknya itu.
“Hahaha….
Emang leher gitar itu sama ya, dengan leher ayam? Kakak beli senar baru trus
di-stel sama Kak Galuh” usul Yusuf.
“Emang
Galuh bisa?” Tanya Gadis.
“Aduh,
Kakak. Berapa tahun kakak kenal sama dia? Masa si jago gitar kakak nggak tahu?”
“Ya
udah, nanti kakak beli senarnya di warung Bu Siti.”
Gadis
keluar rumahnya, kebetulan ayah dan ibunya juga sedang ke rumah Bu Siti. Jadi
dia bisa dibelikan senar gitar.
Saat
lewat di bangunan tua bekas Belanda itu, Gadis mendengar seseorang bernyanyi
dengan sangat merdu. Namun liriknya memakai nama Gadis.
“Siapa
ya?” Tanya Gadis. “Ya sudahlah…” lanjutnya sambil berlalu.
“Bu
Siti” panggil Gadis saat sudah di pekarangan warung.
“Ya.”
“Senar
gitar lagi donk” pinta Gadis.
“Lho,
yang kemarin?” Tanya Bu Siti.
“Putus”
jawab Gadis pendek.
“Ya
sudah, berapa buah?” Tanya Bu Siti lagi.
“Enam,
Bu. Ibu sama ayah Gadis masih di sini?” Tanya Gadis.
“Masih.”
“Ibu
aja yang bayarin ya. Makasih Bu Siti” Gadis cengengesan sambil berlari membawa senar
gitar dan kembali ke rumah.
Esok
harinya, Gadis dengan manis menunggu Galuh lewat di depan rumahnya. Sudah jam
10 namun Galuh belum juga muncul. Jam 12 barulah Galuh lewat rumah Gadis.
“Galuh”
panggil Gadis sambil mendekati cowok ganteng itu.
“Apa,
Dis?” Tanya Galuh.
“Mau
kemana?”
“Ke
… mmm… kasih tau nggak ya?” piker Galuh.
“Kasih
tahu donk.”
“Aku
mau ke atas gedung tua Belanda itu” jawab Galuh.
Gadis
kaget. “Ke atasnya? Memang bisa?”
“Bisa
donk.”
“Aku
ikut ya… sekalian mau minta tolong perbaiki gitar” kata Gadis.
“Eh,
kayaknya nggak jadi. Kita ngopi aja yuk… aku traktir” kata Galuh akhirnya.
Gadis mengangguk, setelah pamit ke orang tua dan mengambil uang, dia dan Galuh
ke warung Bu Siti untuk minum secangkir kopi.
“Sampai
kapanpun, kopi Bu Siti emang yang paling nikmat” kata Galuh.
“Ah,
bisa aja kamu Galuh” ujar Bu Siti.
“Bener
lho, Bu” kata Galuh. Bu Siti hanya tersenyum kecil.
“Oh
ya, Luh. Nomer handphone kamu udah ganti ya?” Tanya Gadis.
Galuh
mengangguk kecil.
“Kenapa
diganti. Kalau gitu minta nomer baru mu deh” kata Gadis. Galuh tersenyum senang
sambil menyebutkan nomer handphone nya pada Gadis.
“Ntar
aku SMS ya…” ujar Gadis. Lagi-lagi Galuh mengangguk sambil tersenyum senang.
Malamnya…
Gadis :
malam, galuh
Galuh :
uga. Spa nih?
Gadis :
gadis, luh… lg ap?
Galuh : owh,
gadis. Ni lg d ats bngunan blanda it.. lhat bntang. Bgs bgt lho.. km lg ap?
Gadis :
lg tdran doank… luh, bsa stel gtar dis ngk?
Galuh :
bs lah. Emg gtrny knp dis?
Gadis : ngk tau
nih,,, kyakny udh tua. Biasalah, inikan gtarny ayh dl wktu msh mda
Galuh : owh gt.
Mmm … gluh pngn bkin puisi nih, buat dis
Gadis : oh
y?puisi ap?
Galuh : td bru aj
dpt inspirasi dr gtarny gdis. Lhat bsk d notes fb luh ya..
Gadis : sip deh.
Bsk dis tgih ya…
Galuh : iy …
Disaat
yang sama namun tempat berbeda, Gadis dan Galuh tersenyum. Kemudian Gadis
memikirkan Galuh. Dan Galuh pun memikirkan Gadis sambil membuatkan sebuah puisi
untuk sang Gadis.
Bintang terlihat sangat
indah
Bulan pun begitu
Mereka seperti
tersenyum
Ikut bahagia bersamaku
Malam ini, kupetik senar gitarku
Kunyanyikan sebuah lagu cinta untukmu
Padamu…
Sang pencuri hatiku
Malam itu kau bilang
‘Tolong perbaiki gitar
tuaku’
Yang mulai rapuh
Di ujung usianya
Aku tersenyum sendiri
Dalam hati ku berkata
‘Jangan kan gitar tuamu,
Hatimu saja mampu ku perbaiki
Dengan sayang ku, dan akan kujaga dia
Hingga masa berakhir’.
Galuh
tersenyum senang saat menyelesaikan puisi terindah itu. Rasa sayangnya semakin
dalam pada Gadis sejak mereka SMS-an barusan. Usai menulis puisi itu di bawah
bulan dan bintang yang tersenyum, Galuh turun dan pergi ke warnet dan meng-unggah
puisi tadi di notes facebook-nya.
***
Gadis
baru saja duduk di lantai kamar warnet. Selain ingin buka fb dan men-download lagu terbaru, dia juga ingin membaca
puisi yang dijanjikan Galuh kemarin.
Saat
membuka kronologi fb Galuh, Gadis langsung membuka bagian notes dan membaca puisi kemarin. Dia kaget saat membaca bait
terakhir, kenapa Galuh membuat puisi seperti itu?
Tapi biarlah,
pikir Gadis. Toh puisinya juga bagus. Ia pun meninggalkan halaman itu dan
mencari lagu terbaru.
Gadis :
mlm
Galuh : jga cntik..
Gadis :
lg ap nih mlm2?
Galuh : nih mau naik k ats gdung blnda
it.. klo gdis l gap?
Gadis :
wah, iktan dnk luh…
Galuh : dsni glap.ntar tkut lg …
Gadis :
djamin dh … dis ngk bkal tkut :)
Galuh : y udh, luh tnggu d sni y… bwa
skalian gtarny, sma lakban skalian
Gadis :
sip sip..
Gadis
tersenyum. Setelah minta izin dan mengambil lakban, gitar, hp dan uang dia
segera ke bangunan tua Belanda itu.
“LUH…
GALUH…” teriak Gadis saat di depan gedung itu.
Galuh
yang mendengar teriakan itu langsung berdiri dan menunjukkan tangga untuk naik
ke atas gedung.
“Huftt…
Nyampe juga ya” kata Gadis girang.
“Di
sini gelap kan? Nggak percayaan sih” ujar Galuh.
Gadis
mengangguk. “Disini emang gelap. Tapi kan sekarang lagi purnama. Jadi cukup
terang lah” bela Gadis. Galuh mengambil gitar yang dipegang Gadis.
“Gitarnya
kenapa?” Tanya Galuh.
“Udah
tua, sakit-sakitan mulu…” jawab Gadis.
“Wah,
cuma rusak sedikit. Caranya tinggal dilem sama lakban” kata Galuh sambil
memperbaiki gitar tua Gadis kemudian menyetelnya.
“Nih,
udah bagus kan” seru Galuh sambil memainkan gitar 10 menit kemudian.
“Wah,
suaranya jadi bagus. Makasih ya, Luh” Gadis gembira. Galuh mengangguk sambil
tersenyum.
Mereka
berdua duduk berdekatan sambil melihat bulan purnama dan bintang yang begitu
indah. Belum lagi udara dingin yang menyejukkan. Gadis merebahkan kepalanya
dibahu Galuh yang sedang memainkan gitar.
“Luh…”
“Mmm…”
“Aku
udah baca puisi kamu. Aku boleh tahu kenapa kamu bikin puisi kayak gitu?” Tanya
Gadis sambil memejamkan matanya.
Galuh
terdiam. Suasana menjadi hening. “Itu yang aku rasakan, Dis. Sejak SMP malah,
kalau aku pendam terus itu bisa jadi penyakit untukku.”
“Kenapa
nggak kamu bilang langsung?”
“Nggak
bisa, Dis. Aku takut nanti hatiku bisa sakit, kalau kamu bilang ‘tidak’.”
“Kalau
misalnya aku bilang ‘iya’?”
“Apa?”
“Luh,
sejak SMA hatiku nggak bisa berpaling dari kamu. Aku nggak tahu kenapa.
Sekuat-kuatnya aku melupakan kamu, sekuat itu pula hati aku semakin mencintai
kamu.”
Galuh
menggenggam erat tangan Gadis. Gadis pun begitu. Malam itu indah sekali,
sepertinya gitar tua Gadis yang mempertemukan dan membuat mereka harus jujur.
Gitar itu menjadi saksi bisu pada malam itu. Gadis, Galuh dan gitar.
***
Comments
Post a Comment
Hindari kata Kata Kotor